Taylor Swift - reputation


I’m sorry, the old Taylor can’t come to the phone right now. Why? Oh, ’cause she’s dead!” monolog Taylor Swift dalam hit single-nya ‘Look What You Made Me Do’. Lagu yang dikerjakan Swift bersama Jack Antonoff tersebut memang terdengar lebih “berapi-api” dan fierce, dengan pop yang diusung terdengar urban dan industrial dibandingkan pop yang ditawarkan Taylor di album sebelumnya, mega-hit “1989” (2014). Tapi, benarkah Taylor yang lama sudah benar-benar mati?
Kalau mengharapkan Taylor era album debutnya hingga “Speak Now” (2010), atau dalam perspektif yang lebih lentur, “Red” (2012), maka mungkin “ya” bisa menjadi jawabannya. Setelah terjun ke dunia pop secara lebih total dengan “1989”, maka dalam “Reputation“, album keenamnya, Taylor seolah meningkatkan akselerasi dan mempertebal sisi popnya secara lebih tegas. Jadi, jangan harapkan lagi track-track country yang terdengar naif, karena kini Taylor Swift adalah sosok “garang” yang tak segan-segan melakukan “name checked”, “acting shady”, minum minuman beralkohol secara ekstensif dan CMIIW untuk pertama kali menyumpah dalam lagu. Sesuatu yang bahkan tidak ada dalam “1989”.
Semenjak menemukan jika formula pop-nya lebih terasah berkat hadirnya Max Martin dan Shellback, Taylor tampaknya ingin bermain aman dengan tetap menyertakan dua produser papan atas ini ke dalam “Reputation”. Namun tidak lupa ada juga Jack Antonoff – yang saat ini seolah-olah hadir di mana-mana – untuk membantunya. Taylor tidak serakah dengan menarik nama-nama penting lain dalam skena pop masa kini untuk membantunya di album ini. Oleh karenanya itu, tidak heran jika sound dalam “Reputation” terdengar lebih bulat dan tidak bolong-bolong karena konsistensi atas siapa saja yang membentuk lagu-lagunya bersama Taylor.
Yang pasti, imej the-girl-next-door yang ditawarkan Taylor, yang bahkan masih tersisa dalam “1989”, nyaris sirna. Lagu-lagu dalam “Reputation” terdengar “besar”, anthemik, bahkan ambisius. Beat-beat-nya lebih intens dan mengadopsi EDM dengan lebih kuat. Lagu-lagu garapan Max Martin dan Shellback adalah yang terutama menghadirkan pendekatan ini. Tentunya lagu-lagunya cenderung lebih gelap, cenderung gloomy, mengingat Taylor kini berbicara tentang hal-hal seperti obsesi, kecemburuan, nafsu hingga kehilangan kontrol.
Lupakan ‘Look What You Made Me Do’ yang hadir memang sebagai tugasnya sebagai gimmick promosi. Atau ‘….Ready For It?’ Representasi paling nyata “Reputation” terdapat dalam track ‘End Game’. Satu-satunya track dalam album yang menampilkan aksi kolaboratif, beat dalam lagu tampak meminjam R&B dan hip-hop. Bayangkan ‘Umbrella’ Rihanna, namun dalam versi yang lebih pop. Uniknya kolaborasi Taylor dan rapper Future terdengar padu, sesuatu yang mungkin sulit dibayangkan bahkan 5 tahun lalu. Kompaknya kolaborasi mereka membuat kehadiran Ed Sheeran, featuring act lain dalam lagu, terdengar tidak penting dan tidak perlu.
Dan sebagaimana yang disebutkan Taylor dalam ‘End Game’, “I swear I don’t love the drama, it loves me,” maka drama tentunya masih sajian Taylor dalam “Reputation”. Judul-judul dan lirik lagu masih terdengar seperti diambil dari buku catatan harian remaja sekolahan. Yang membedakan adalah sisi edgy alih-alih manis. Di sepanjang album Taylor sukses membuat kita menebak-nebak gerangan tentang siapa lagu yang tengah dinyanyikannya? Kanye West, Kim Kardashian, Katy Perry, Calvin Harris, atau malah gabungan dari semuanya?
Terlepas dari sisi tematik dan lirik atau “drama”, secara musikalitas konsep “Reputation” tampak sangat kuat dalam “meminjam” khasanah pop yang telah mapan sebelumnya. Black music juga terdegar bermain kuat dalam lagu-lagu yang disajikan Taylor. Contohlah ‘Don’t Blame Me’ yang memadukan dub dengan gospel. ‘I Did Something Bad’ mengedepankan industrial dan EDM, atau track tropical menghipnotis dalam ‘Delicate’ di mana Taylor memanfaatkan vocoder untuk menghiasi lagu.
Martin dan Shellback bertanggungjawab untuk track-track di atas dan mengisi paruh pertama album. Sedangkan paruh kedua album mayoritas berada di tangan Antonoff, yang bersama Swift merangka track-track synth-pop menghadirkan Taylor secara lebih humanis ketimbang Ratu Mesin saja.
Oleh karenanya saat kita menyimak track-track seperti ‘Getaway Car’ yang terdengar seperti sekuel ‘Out of the Woods’, electronic-pop moody ala AlunaGeorge dalam ‘Dress’, atau balada manis ‘Call Me What You Want’. Lagu-lagu ini memang dramatis dengan mesin masih menjadi andalan untuk produksi musik latarnya, tapi Taylor bernyanyi dengan lebih berjiwa, terutama ‘Call Me What You Want’ yang bisa dikatakan sebagai satu yang terbaik dalam “Reputation”.
Tentunya kolaborasi Antonoff dan Taylor tetap tercatat memiliki lagu seperti ‘Look What You Made Me Do’; catchy namun jenerik. Meski begitu, tetap saja kekuatan mereka terletak di lagu-lagu yang humanis, low key, juga manis. Contohlah ‘This Is Why We Can’t Have Nice Things’, yang dibuka dengan melodi alt-pop moody ala Lorde dan kemudian berubah dalam semangat anthemik yang “fun” dan ringan ala ‘We Are Never Ever Getting Back Together’. Lagu yang berkisah tentang persahabatan yang berakhir ini tidak terdengar depresif, meski sebenarnya memiliki tema yang “shady”, lengkap dengan tertawa palsu setelah Taylor mengantarkan lirik seperti, “‘Cause forgiveness is a nice thing to do.
Setelah barisan sound olahan synth dan komputer, album memiliki ‘New Year’s Day’ sebagai coda atau epilog. Sebuah track balada minimalis, yang sekali kali menegaskan mengapa Taylor Swift bisa sebesar sekarang. Ia kuat dalam track-track yang confessional dan personal. Lagu-lagu yang bisa dibawakannya dengan emosi subtil dan jujur tanpa harus bersandar pada gimmick atau elaborasi produksi atau lirik-lirik yang terdengar superfisial.
“Reputation” jelas adalah album pop yang cukup solid. Well, akan lebih solid lagi sebenarnya jika beberapa lagu (‘I Did Something Bad’, ‘So It Goes…’, ‘King of My Heart’ atau ‘Dancing with Our Hands Tied’) tidak terdengar seperti filler yang jika diskip atau dibuang tidak akan mempengaruhi ritme album, malah semakin memperkuatnya. Tapi kembali lagi ke pertanyaan apakah “the old Taylor” benar-benar sudah mati?
Setelah mendengar albumnya secara utuh, rasa-rasanya jawaban yang paling pas adalah, “tidak”. Terlepas dari façade “fierce” yang coba ditampilkan, Taylor Swift tetap terdengar sebagai sosok manis dan romantis. Mungkin lebih getir, namun tidak pahit sekali. Bagaimanapun secara esensi tematis ia juga masih terdengar juvenil.
Yang pasti “Reputation” menegaskan jika Taylor semakin piawai dalam bermain dalam konsep dan antisipasi. Layaknya artis-artis pop besar seperti Madonna atau Lady Gaga, Taylor sudah paham kalau metamorfosa adalah kunci dalam dunia pop. Berikutnya adalah track-track bubblyyang catchy. Maka sebuah album memorable pun berada di tangan. Setelahnya, yakinlah dominasi dunia senantiasa berada di genggaman.








Official Website

TRACKLIST

1. “…Ready for It?” 3:28
2. “End Game” (featuring Ed Sheeran and Future) 4:04
3. “I Did Something Bad” 3:58
4. “Don’t Blame Me” 3:56
5. “Delicate” 3:52
6. “Look What You Made Me Do” 3:31
7. “So It Goes…” 3:47
8. “Gorgeous” 3:29
9. “Getaway Car” 3:53
10. “King of My Heart” 3:34
11. “Dancing with Our Hands Tied” 3:31
12. “Dress” 3:50
13. “This Is Why We Can’t Have Nice Things” 3:27
14. “Call It What You Want” 3:23
15. “New Year’s Day” 3:55
Taylor Swift - ...Ready For It

Comments

Popular Posts