Single Baru Katy Perry "Chained To The Rhythm" Bernuansa Politis


Katy Perry is back! Setelah sukses merilis Rise yang menjadi anthem Olimpiade 2016 pada Agustus tahun lalu, dia menelurkan single Chained to the Rhythm. Lagu yang diluncurkan pada Jumat (10/2) itu langsung disambut sangat manis. Dalam hitungan jam, single tersebut memuncaki chart Billboard + Twitter Trending 140. Chart itu menunjukkan statistik real time di Twitter terkait dengan cuitan atau tagar tentang musisi dan karyanya.

Di Spotify, Chained to the Rhythm juga memecahkan rekor. Yakni, menjadi single musisi perempuan dengan angka first day streaming terbanyak. Dalam sehari, lagu tersebut sudah didengarkan 3.062.293 kali. Di YouTube, video lirik lagunya –yang dibintangi seekor hamster imut dan miniature cooking– disaksikan 10,5 juta kali hingga tadi malam.

Perwakilan Perry dari Direct Management Group, Martin Kirkup, menyatakan bahwa rekor-rekor itu tidak lepas dari upaya tim yang melakukan promosi besar-besaran. Sebelum rilis, Perry menyebar delapan disco ball di beberapa kota di Amerika Utara dan Eropa. Sejumlah teaser juga diunggah di Instagram Perry.

Pada Selasa (7/2), pelantun Unconditionally tersebut mengunggah foto wajahnya dengan kostum dan rambut yang dipakai untuk single baru. Keesokan hari, dia mem-posting billboard video di kawasan Beverly Hills. ’’Petunjuk baru: 10 Februari’’. Begitu tulis Perry sebagai caption. Setelah itu, secara beruntun dia mengunggah foto disco ball berwarna keperakan tersebut terikat di kaki, sebuah bangku di Los Angeles, serta sebuah peta dunia yang beberapa titiknya tertutup disco ball.

Selain itu, Kirkup mengungkapkan bahwa pihaknya dapat tawaran dari Spotify mengenai promosi Chained to the Rhythm. ’’Mereka menawarkan dukungan penuh. Kami tidak meminta billboard. Semua murni tawaran Spotify,’’ tegasnya sebagaimana dikutip Entertainment Weekly. Single milik kekasih Orlando Bloom itu mendapatkan spot promo eksklusif di aplikasi layanan streaming tersebut.

Banyak kritikus yang beranggapan, single terbaru Perry punya nuansa politis yang kuat. Hardeep Phull, kolumnis The New York Daily, menuturkan bahwa Perry benar-benar berubah dari penyanyi yang membawakan I Kissed A Girl hingga Chained to the Rythm. ’’Dia bukan sekadar pop queen,’’ tulis Phull.

Sementara itu, kritikus musik Billboard Jason Lipshutz menyebut single bernuansa bubble gum yang kental nuansa synth tersebut sangat unik. ’’Lagu itu jadi ’serangan’ pertamanya, mewakili anti-Donald Trump. Tidak sekasar F*** Donald Trump-nya YG, tapi liriknya benar-benar mengena,’’ tulisnya. Hoax, ketidakpedulian terhadap sesama, kebiasaan ikut arus, hingga melupakan identitas sendiri terselip dalam syair lagu bertempo sedang tersebut.

Selama beberapa tahun terakhir, pemilik nama Katheryn Elizabeth Hudson itu memang aktif dalam berbagai pergerakan politik. Dia dikenal sebagai suporter loyal Hillary Clinton dan ikut dalam Women’s March di Washington DC bulan lalu.

Chained to the Rhythm dibawakan live oleh Perry untuk kali pertama pada malam penghargaan Grammys 2017 pagi ini WIB (13/2). Single yang ditulis bersama Sia dan dibawakan bareng Skip Marley tersebut menandai image baru Perry. Selain lirik yang lebih dalam, Perry bakal tampil dengan gaya baru. Yaitu, wavy medium cut pirang, mirip dengan warna rambut sang kekasih. Dia juga memilih wardrobe bernuansa pastel, tidak lagi warna-warni mencolok seperti awal karirnya.

Perry menegaskan, dirinya tidak ambil pusing dengan pendapat publik tentang perubahannya. ’’Aku tidak lagi peduli dengan kata orang. Aku dikelilingi orang-orang hebat yang kuhargai dan kudengarkan pendapatnya,’’ tuturnya sebagaimana dikutip People. (Billboard/Entertainment Weekly)


Comments

Popular Posts