Resident Evil : The Final Chapter (Review)
Perjuangan Alice untuk menumpas Umbrella Corporation akhirnya selesai di Resident Evil: The Final Chapter.
Kita
tahu bahwa franchise film Resident Evil tak
begitu se-“mewah” franchise gamenya. Mempertimbangkan hal itu,
ekspektasi saya pun tak begitu tinggi ketika akan menonton Resident
Evil: The Final Chapter.
Walaupun
begitu, film ini berjanji untuk menghadirkan akhir dari kisah Alice dalam
membasmi wabah zombi di muka bumi, dan lebih penting lagi, memusnahkan Umbrella
Corp yang menjadi penyebab utamanya. Sebagai film terakhir, tentunya kita
menantikan aksi dan ending terbaik sebagai pemungkas seri
ini.
Seperti yang sudah kita
ketahui, penyebab kemunculan zombie ini adalah T-Virus yang kemudian
dimanfaatkan oleh ilmuwan Umbrella Corporation, Alexander Isaacs (Ian Glen). Alice mendapat petunjuk dari AI Red Queen bahwa Umbrella punya
penangkal virus yang begitu ampuh hingga bisa melenyapkan semua zombie cukup
dengan menyebarkannya di udara. Jika benda mungil ini adalah kelemahan terbesar
mereka, kenapa Umbrella menyimpannya alih-alih memusnahkannya?
Alice harus kembali ke The Hive di Raccoon City. Film ini memanfaatkan gimmick kejar-kejaran dengan waktu seperti film pertama. Kalau lewat, maka antivirus tak lagi berguna. Batas waktunya jauh lebih lama, bukan 60 menit melainkan 48 jam, tapi Alice menghabiskan sebagian besarnya untuk pingsan. Sementara itu, Isaacs dan Wesker (Shawn Roberts) menyusun strategi untuk memburunya.
Apakah Resident Evil: The Final Chapter menyajikannya?
Mari kita simak ulasannya di sini!
Mengakhiri Wabah Zombie untuk Selamanya
Plot utama dari Resident Evil: The Final Chapter adalah
mencari antidote alias
obat untuk membunuh T-Virus yang telah menyebar di seluruh dunia dan menjadikan
sebagian besar manusia menjadi mayat hidup. Melalui sebuah sumber yang tak
terduga, Alice harus kembali ke Raccoon City, tepatnya The Hive, tempat
semuanya berawal untuk mengambil antidote tersebut.
Bersama para survivor di Raccoon
City yang telah diluluhlantakkan oleh bom, Alice berjuang untuk masuk ke
dalam The Hive yang berisi jebakan-jebakan mematikan. Ia ditunggu oleh Albert
Wesker dan seorang aktor di balik Umbrella Corp yang telah “hidup” kembali.
Seorang tokoh lama juga kembali di iterasi
terakhir Resident Evil ini, sebut saja namanya Claire Redfield (Ali Larter).
Ialah yang mempertemukan, atau lebih tepatnya menyelamatkan, Alice dari para survivor di Raccoon
City.
CGI Buruk Diselamatkan oleh Nuansa Gelap
Adegan aksinya relatif lebih
banyak, namun kuantitas tak selalu sebanding dengan kualitas. Tak ada sekuens
yang berkesan disini, kecuali yang supercampy semacam
pembakaran massal zombie. Paul W.S. Anderson tampaknya tak mempercayai filmnya
bisa menghadirkan ketegangan sehingga harus mengedit setiap sekuens aksinya
seolah sedang kesetanan, dengan cut dan angle sebanyak mungkin. Semuanya tak berarti, sukar dimengerti
dan digarap tanpa imajinasi dan (mungkin) logika. Ia hanya menghantamkan
gambarnya satu sama lain secepat-cepatnya, menciptakan pengalaman menonton yang
tak nyaman bagi saya.
Film ini punya dialog, meski kita bisa menontonnya tanpa dialog sama sekali, kecuali untuk bagian twist di akhir. Bicara soal twist, bagian ini akan menohok anda, bukan saja karena pengungkapannya yang luar biasa mengejutkan tapi juga betapa ia mengkhianati 5 film sebelumnya. Yeah, deal with it. Anda baru saja menyia-nyiakan dua jam anda, dan film ini mengingatkan kembali bahwa dulu anda juga telah menyia-nyiakan waktu selama 5 film x 2 jam/film.
Film ini punya dialog, meski kita bisa menontonnya tanpa dialog sama sekali, kecuali untuk bagian twist di akhir. Bicara soal twist, bagian ini akan menohok anda, bukan saja karena pengungkapannya yang luar biasa mengejutkan tapi juga betapa ia mengkhianati 5 film sebelumnya. Yeah, deal with it. Anda baru saja menyia-nyiakan dua jam anda, dan film ini mengingatkan kembali bahwa dulu anda juga telah menyia-nyiakan waktu selama 5 film x 2 jam/film.
Comments
Post a Comment